Meluruskan Penjungkir balikan Akal Sehat Ahli Dalam Kasus Ijasah Jokowi
Oleh: Hartanto Boechori
Ketua Umum PJI (Persatuan Jurnalis Indonesia)
Praktisi pembelaan non-litigasi masyarakat kecil
*Pendahuluan: Ketika Hukum Dikaburkan oleh Pendapat Ahli*
Permasalahan seputar ijazah Presiden Joko Widodo kembali menjadi bola liar. Yang saya herankan bukan tuduhan itu, melainkan bagaimana sejumlah pihak termasuk sebagian ahli hukum menyampaikan pendapat yang justru, menurut logika saya, menjungkir-balikkan logika hukum paling dasar.
Ada yang bilang: “Kasus Roy Suryo Cs Belum Layak Disidang, Pembuktian Ijazah Jokowi Harus Didahulukan”. “Polisi tak bisa memproses Roy Suryo CS sebelum keaslian ijazah Jokowi dibuktikan di pengadilan”. Ada juga yang menyatakan: “Yang berwenang memutus keaslian ijazah adalah PTUN”.
Saya tegaskan, dalil “ijazah yang dituduh palsu harus dibuktikan dulu di Pengadilan dalam kasus fitnah atau pencemaran nama baik”, adalah kekeliruan Hukum paling dasar. Dalam logika Hukum pidana, objek yang dipalsukan tidak harus dibuktikan keasliannya dulu melalui putusan Pengadilan.
Bukti keaslian cukup melalui dokumen otentik, keterangan institusi penerbit (misalnya UGM), ahli grafologi atau dokumen negara, Saksi dan rekonstruksi administratif.
Sepemahaman saya, tidak ada satu pun pasal KUHP, KUHAP, atau UU Administrasi Pemerintahan yang mensyaratkan “keaslian suatu barang harus diputuskan hakim perdata/administrasi dulu sebelum pidana berjalan”. Teori bahwa pidana tidak boleh jalan sebelum ada putusan lain adalah bid’ah hukum yang tidak dikenal dalam ilmu pidana maupun praktik peradilan kita.
Kalau logika itu dipaksakan, polisi akan lumpuh. Sebab setiap pelaku penipuan, pemalsuan, ujaran fitnah, atau pencemaran cukup berkata: “Tunggu dulu, buktikan keaslian objeknya melalui putusan perdata/administrasi!”
Saya awam hukum, tetapi puluhan tahun berkecimpung dalam pembelaan masyarakat tertindas secara non-litigasi. Pemahaman Hukum saya, pendapat-pendapat itu tidak hanya keliru, namun lebih parah, menyesatkan dan berbahaya bagi akal sehat Bangsa.
Terus terang, saya muak dengan berbagai argumen yang sengaja dibesarkan oleh sebagian media mainstream dan media sosial. Pendapat saya, banyak pendapat “Ahli” yang sesat pikir. Menjungkir-balikkan akal sehat. Para Ahli yang sebelumnya saya hargai dan hormati. Entah kepentingan atau permasalahan apa yang menjadikan pola berpikirnya jadi melenceng, bahkan terbalik!?
*1.Siapa yang berwenang menyatakan ijazah asli/palsu?*
Secara hukum, institusi penerbit. Dalam kasus ini, UGM dan sekolah terkait, Ahli forensik dokumen, jika terdapat sengketa pidana dan Pengadilan Pidana atau Perdata, jika perkara masuk ke persidangan.
Namun harus dipahami, Pengadilan tidak menciptakan kebenaran, ia hanya mengukuhkan apa yang dibuktikan. Maka, jika UGM sudah menyatakan ijazah itu asli, secara hukum, ya selesai. Pengadilan tidak menggantikan kewenangan kampus.
*2.Beban pembuktian*
Dalam hukum pidana, terutama pencemaran nama baik, fitnah dan penistaan, berlaku prinsip, “Siapa yang menuduh, dia yang wajib membuktikan”. Korban/tertuduh tidak wajib membuktikan dirinya tidak bersalah. Korban tidak wajib menunjukkan ijazah kepada penuduh. Korban tidak wajib menjawab fitnah.
Logika sebagian “Ahli” yang meminta korban tuduhan agar menunjukkan ijazahnya, bahkan terkesan agar membuktikan keasliannya, justru bertentangan 180 derajat dengan KUHP. Maaf beribu maaf, sekali lagi, menurut saya, itu menunjukkan pola berpikir “lucu”. Sebenarnya saya ingin katakan, berpola berpikir “bodoh”, namun saya khawatir terlalu vulgar.
Dalam perjalanan hidup saya temui, relatif banyak akademisi yang sudah pasti tidak bodoh, namun pola berpikirnya, “bodoh”. Sama seperti teroris atau radikalis, mereka relatif bukan orang bodoh, namun pola pikirnya yang “bodoh” atau mereka terjebak oleh pembodohan orang lain. Banyak juga akademisi yang terjebak dalam pola pikir bodoh hingga mereka menjadi radikal.
*3.PTUN bukan Pengadilan untuk menentukan keaslian ijazah*
Ini salah satu bagian paling fatal dari pendapat para “Ahli”. Pahami, PTUN hanya menangani sengketa Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) adalah tindakan administrasi Pejabat Pemerintahan dan Keputusan administratif yang bisa dibatalkan
Pertanyaan penting, “apakah ijazah UGM adalah KTUN?, apakah UGM Pejabat Pemerintahan dalam fungsi administrasi Negara? Jawabannya jelas, tidak!
Ijazah adalah dokumen pendidikan akademik, bukan keputusan administrasi pemerintahan. Meminta PTUN memutus keaslian ijazah, sama absurdnya seperti membuktikan keaslian akta lahir di Pengadilan Niaga, menanyakan keaslian SIM di Pengadilan Agama atau menguji KTP di Mahkamah Konstitusi. Maaf, ngawur! Salah kamar / salah logika hukum.
*4.Apakah pemidanaan Roy Suryo CS bisa dilanjutkan?*
Ya! Bahkan, harus!, karena unsur pidananya adalah menuduh seseorang melakukan sesuatu tanpa dasar yang dibuktikan penuduhnya, dan dengan maksud menyerang kehormatan.
Dalam kasus ini, penuduh harus membuktikan tuduhannya. Bila tidak mampu, itulah fitnah!
Sekurangnya, Roy Suryo CS harus membuktikan secara hukum, bahwa alat bukti yang dipunyainya, asli atau sah. Penyidik tidak wajib membuktikan ijazah korban. Justru jika penyidik menunggu keaslian ijazah dibuktikan dulu, artinya Penyidiklah menerapkan “pembodohan Hukum”. Penyidik sedang salah menerapkan hukum, mengaburkan asas beban pembuktian, serta membiarkan fitnah berkembang tanpa batas. Negara hukum tidak boleh tunduk pada logika Hukum yang kacau.
*5.Sikap Hukum Penyidik seharusnya*
Penyidik wajib menerima laporan fitnah/pencemaran nama baik dan meminta penuduh menunjukkan bukti bahwa ijazah palsu. Bila penuduh tidak mampu membuktikan, maka jelas unsur pasal terpenuhi. Penetapan Tersangka kepada Roy CS, menurut saya, sangat pantas dan benar benar benar. Seyogyanya Penyidik melakukan penahanan agar Tersangka tidak terus mengulangi perbuatannya (terus menyebar fitnah/pencemaran nama baik), serta mencegah potensi melarikan diri, dan selanjutnya melimpahkan berkas ke Kejaksaan.
*7.Apakah Penyidik wajib memeriksa ijazah Jokowi?*
Pendapat saya, tidak! Yang wajib diperiksa adalah “bukti penuduh”, bukan dokumen korban yang dituduh. Ini standar Hukum Internasional dan Nasional.
*8.Saatnya Meluruskan Logika Hukum*
Sebagai Ketua Umum PJI dan praktisi pembelaan non-litigasi masyarakat tertindas, saya merasa perlu menyampaikan bahwa:
1. Logika hukum harus lurus. Tidak boleh dijungkir-balikkan.
2. Beban pembuktian ada pada penuduh. Bukan yang dituduh.
3. PTUN sama sekali tidak relevan dalam isu keaslian ijazah.
4. Penyidik wajib memproses dugaan fitnah tanpa menunggu penetapan apa pun dari pengadilan.
5. Logika yang benar, ijazah paling otoritatif diverifikasi oleh lembaganya, bukan oleh pengadilan.
Saya tetap mengakui bahwa saya bukan Sarjana Hukum. Saya hanyalah orang awam yang bertahun-tahun belajar hukum secara autodidak dan mengadvokasi masyarakat kecil. Jika ada akademisi Hukum yang ingin mengoreksi pendapat saya, saya sangat terbuka. Tapi koreksi itu harus berbasis Hukum formal, Asas Hukum, Logika sehat, tidak menabrak kompetensi absolut peradilan dan tidak membalikkan beban pembuktian.
Pemidanaan terhadap penyebar fitnah bukan sekadar penegakan hukum.
Itu adalah peneguhan bahwa negara ini tidak bisa digoyang oleh kebisingan politik tanpa dasar.
Bagaimana jadinya Negara ini jika setiap pejabat yang tidak disukai bisa dituduh ijazahnya dan berbagai berkas lainnya, palsu, lalu diwajibkan membuktikan keasliannya di pengadilan sampai inkracht dulu? Pejabat akan “habis” bukan karena kasus korupsi, tetapi karena fitnah. Sama dengan kita membuka pintu era baru, “satu hoaks dapat menjatuhkan negara”. Hukum tidak boleh dipermainkan sedemikian murahnya.